Jutaan Buku Teks Tidak Terpakai di Perpustakaan Sekolah
Hari ini ada jutaan buku teks tidak terpakai di perpustakaan sekolah |
Itu adalah foto yang saya ambil di sebuah perpustakaan sekolah. Ada lebih dari seribu buku dalam dus-dus itu. Buku-buku itu merupakan buku teks/paket pelajaran yang tidak lagi terpakai karena, selain tidak sesuai dengan kurikulum, juga karena sudah banyak buku baru, sedang ruangan perpustakaan tidak memungkinkan untuk menaruh buku-buku itu di rak. Kalau pun tetap ditaruh di rak, untuk apa? Mungkin hanya akan mengganggu pemandangan.
Saya yakin, apa yang saya jumpai di perpustakaan sekolah tersebut juga terdapat di sekolah-sekolah lain. Dan kita bisa menyimpulkan, “Hari ini ada jutaan buku teks tidak terpakai di perpustakaan sekolah.”
Pertanyaannya, bagaimana cara agar buku-buku itu lebih bermanfaat, tidak hanya menumpuk digudang? Apakah ada peraturan pemerintah berkaitan dengan buku-buku yang dibelanjakan dengan uang negara?
“Mungkin buku itu bisa diberikan kepada siswa, satu siswa mungkin akan dapat sepuluh atau minimal satu buku.” Ujar saya kepada petugas perpustakaan. “Meski sudah tidak sesuai dengan kurikulum, tentu masih ada ilmu yang relevan. Atau disumbangkan saja ke sekolah yang kekurangan buku. Minimal bisa mengisi perpustakaan mereka yang kosong. Atau, jual saja buku-buku itu ke tukang rongsok, lalu uangnya kita belikan buku-buku bacaan. Dapat 100 buku bacaan, itu kan lumayan!”
“Masalahnya, aturan pemerintah tidak membenarkan untuk mengalihkan manfaat buku-buku itu,” sanggah petugas perpustakaan. “Itu adalah aset negara, pertanggung jawabannya harus sesuai aturan.”
Saya kurang paham dengan aturan pemerintah. Tetapi saya tahu, aturan pemerintah seringkali membelenggu. Aturan yang dibuat untuk kemaslahatan seringkali justru menjadi sumber bermulanya kemudhzaratan (keburukan), atau setidaknya menjadi penghambat terwujudkan kebaikan.
Sekarang ini—kalau tidak salah sejak 2006—sudah ada Bantuan Operasional Siswa (BOS) Buku. Setiap tahun sekolah berbelanja buku. Buku apa? Tidak lain adalah buku teks pelajaran. Dan lagi-lagi, karena negeri ini senang berganti kurikulum pendidikan, maka buku-buku paket itu berusia sangat pendek. Bahkan sangat mungkin, BOS Buku dimanfaatkan oleh para punggawa sekolah, dengan hak mereka bekerja sama dengan rekanan, mereka bisa memanipulasi harga buku. Itu sangat gampang diatur!
Trusss....Kurikulum 2013 bergaung buku. Sampai dengan saat ini 2017, sudah 3 kali buku teks Siswa dan Guru di revisi. Mulai 2013 (sempat heboh dari semua aspek), lalu 2014 revisi, 2016 revisi, terakhir 2017 direvisi.
Negeri ini kaya, tapi boros. Siapakah yang menjadi teman pemboros?
Proyek dan proyek. Penerbit, Pejabat, dan Pengurus Sekolah. Siapa yang paling diuntungkan? Yang jelas bukan siswa!
Tidak ada komentar